Posts

Showing posts from March, 2021

AMINI AMAN

Karena sejarah hanya milik para pemenang, sementara kemenangan tidak selalu menjadi milik mereka yang benar, bagaimana jika kita selama ini telah dibesarkan dengan kebanggaan semu berbasis loyalitas salah tuju? Akankah umpat-kutuk menjadi maaf yang diucapkan sambil terbatuk atau tetap menjaga harga diri demi gengsi tetap lestari?

KITA

Kita adalah bunga, adalah benci yang senantiasa bisa mekar setiap hari. Kita adalah batu, adalah kebenaran yang senantiasa dijaga bersama kerasnya kepala. Kita adalah mimpi, adalah kenyataan akan angan-angan yang selalu harus bisa terwujud tanpa kegagalan. Kita adalah mereka yang gemar menghitung sendiri, berapa jumlah kenapa terkait ini dan itu.

PELARI TENGAH HARI

Kita berlomba.  Kebanyakan di antaranya mengejar juara, melayakan nama pada suatu skala. Sisanya hanya demi menghibur waktu, yang kerap tak berisi-tak berlagu.

TUNTUT RUNTUT

Membenci sesuatu atau seseorang itu wajar, karena dengan begitu, cinta dan kasih bisa memiliki nilai. Kamu tidak bisa selamanya mendamba kedamaian (yang jelas-jelas utopis). Sejatinya, kedamaian adalah metafora ketidakseimbangan. Harmoni tidak bisa diwakilkan dengan kedamaian. Karena harmoni adalah keseimbangan antara positif dan negatif. Kita perlu hidup harmonis, bukan hidup damai.

LANTAR SAMAR

Pada malam berbintang muram, terdengar lagu sebarkan pilu. Tampak cahaya dari jendela, berpendar nestapa seorang nona. Dalam prasangka dan mengendurnya puja, sematkan benci pada diksi. Kalimat-kalimat api dini hari. Peluh temani deru, menyeluruh dan memburu. Waktu kian kelu, meratap memperlayu. Adapun mampu, bertahap tergantikan jemu. Selain menunggu, berakhir bisukan nafsu. Puing-puing, harapan melebur-menguning. Sewarna dengan buku yang kiranya menua. Tua bersama sepi terpatri mimpi. Catatan tentang janji-imaji.

PERHATIAN: TIDAK ADA JALAN KELUAR

Dalam biru yang merangkak kelabu, bersama udara yang diberi warna oleh suara. Kita berlari selamatkan diri, sementara letupan bertahap sematkan ledakan. Gema yang dikonstruksi geram dalam kelam, perlahan merendah dalam lebam. Darah bercampur kutuk, utopia menjadi jeda dari setiap batuk. Dalam buih yang menghiasi senja, dalam perih mengenai luka-luka. Pasang mengantarkan ombak, bersama dupa wangi semerbak. Kita menghilang dalam malam, kembali pada pagi. Mengulang siklus yang sama, perani teror dalam medan horor. Acap kali debu mengantarkan kata. Dalam setiap deru yang perlahan akan melayu, kita akan selalu terengah dan kalah. Karena Bumi telah menjadi arena beradu daya dan kuasa. Perang-perang ini tidak akan pernah kita menangkan.

KENYANG

Kita selalu merasa kurang, sementara keserba-lebihan sedang dan akan selalu kita miliki. Pada akhirnya, kelebihan kita hanya menuntut, padahal sempat merasa lebih sementara sejatinya akan selalu dalam keadaan berlebih.

MONOKROMA

Di masa depan, pertengkaran yang sering terjadi di masa lalu maupun kini akan perlahan menghilang, berganti dengan upaya menjaga juara bertahan melestarikan diam. Kepedulian kian tersembunyi, meski sesekali keluar ketika beberapa playlist di masa damai diputar. Adapun sebenarnya saling mengerti bisa terjadi, namun ego kerap menyeret pada kedalaman gengsi. Apa-apa seolah tentang harga diri. Kelak, di satu sisi kau akan mendengarkan Morissey namun dengan gumaman penuh kutuk, sementara di sisi lainnya aku berulang kali merokok, mengepulkan asap yang aromanya tetap begitu-begitu saja. Yang jika bertemu dengan karbondioksida menjadi serupa kenanga, melati, dan rupa-rupa bunga lainnya. Seakan gema-gema sekitar membisikan "mati, mati, mati". Terlalu banyak antipati.

SIMPANG JALAN

Dengan membeli beberapa bungkus mie di akhir bulan yang kerap didramatisasi, setiap anak kost utamanya diri kita yang pernah mengalami sendiri, pasti pernah merasa jika di balik banyaknya masalah yang bersifat gawat, hal sesederhana urusan perut saja sebenarnya bisa cukup merepotkan. Terlebih pada situasi dan kondisi yang pada kenyataannya miskin uang dan peluang. Dengan hidupnya kita di dunia saja, kita sudah dihadapkan pada bermacam masalah yang mesti diseleksi sedemikian rupa untuk pada akhirnya diputuskan mana yang layak diambil peduli. Kecil atau besar, sepele ke bertele-tele. Seiring bertambahnya umur, tak jarang kita dibuat sadar jika apa yang disebut skala prioritas sebenarnya kondisional. Dan karena kondisional, justru yang dirasa lebih pantas diutamakan pertama pada akhirnya tidak jauh dari pemenuhan kebutuhan pribadi. Bukan karena kita egois, tapi karena idealnya segala hal yang bersifat ekstra baiknya dimulai dari intra. Demi apa? Demi kesadaran akan skala prioritas yang re

TO THE DEEPEST

The dream you made, the hope you broke. Reality is the only reason. To back and home. Sleep with those countless defeats. In fear for what you bear. The very face of death itself.

NAFSU NAFSI

Aku yang orang desa ini pernah menitipkan mimpi pada suatu kota. Berharap apa yang biasa kulihat pada televisi menjadi kenyataan layak dekap. Mimpi tentang ini dan itu, tentang bermacam hal yang kuyakini mewakili kebahagiaan. Kesuksesan akan bukti bergunanya kelahiran. Aku yang sebelumnya sekedar lelaki sederhana ini pernah banyak berbicara tentang cita pun cinta. Membanggakan apa yang orang sebut kebasian drama fiksi. Namun aku tidak pernah peduli, tidak juga berniat merubah diri. Karena apa yang ada dalam pikiranku adalah milikku dan untukku. Terserah. Soal bagaimana menghubungkannya dengan upaya memenuhi kesemestian, biar aku urus sembari berjalan membangun pondasi pemahaman. Aku pernah begini, sebelumnya begitu. Ini dan itu yang berfusi dalam kenangan. Aku.  Tidak, k ita semua pernah menjadi semacam bejana minim isi. Lalu berbagai fase menjadikan kita semakin kompleks, semakin absurd. Seolah kita yang sebelumnya hanya desa, menjadi kota. Dari sana kemudian memicu transisi terdistor

COSMIC DEATHBED

Dear, my only shadow. Let's talk about nonsense in this temporal presence. You and me, completing each other for every incomplete matter. Embracing death by the gravity of unfortunate fate. Stargazing while wishing upon the dreams. And at the same time curse everything for the sake of chemistry-making.

SENI SINI

Saya selalu penasaran dengan mereka yang memiliki ketertarikan dengan seni, memutuskan hidup di dalamnya untuk kemudian bersama-sama tumbuh lewat landasan sederhana: saling menghidupi.  Apa gerangan yang mendorong seorang seniman untuk tak hanya sekedar berkreasi, namun juga menanamkan kepercayaan mewujudkan mimpi-mimpi? Kita umumnya mengetahui seni tersedia dalam beberapa pilihan untuk digeluti. Entah sekedar menjadi hobi, medium pengisi pundi-pundi, meningkatkan standar pamor pada media sosial terkini maupun yang semurni ini: memberi jalan untuk pikiran pikiran yang ingin berkomunikasi. Secara pribadi, saya berdiri pada dua kebutuhan, uang dan komunikasi layak juang. Menggambar dan menulis sudah saya percayakan untuk meningkatkan kualitas hidup secara finansial dan (tentunya) akal. Kadang saya menggambar untuk mengilustrasikan tulisan (buah pikir pribadi, maupun mereka yang memercayakan miliknya pada saya), kadang sebaliknya, saya menulis untuk mempreteli apa apa yang saya telah jadi

NERVOSA

We are the product of disguise as the standard that society requires. Defining happiness not just as a universal need but the bitch-ing method of acceptance feeds. Our daily to-do-list just completing the quest of human to human pleasing, as the modern value of personal being is total social-merging.

PROTO-HERO

Future. Torture. Vivid pleasure. Parade. Colors. Fade. Illusion. Another sensation. They could endure. Sanity. Procedure. But. How do I spell vulture? Death needs to conjure. For an elegy. Melody of cold bodies. Misanthropy.

DYSNOMIA

Bound to the ground. Claimed by only life. Injustice. Misfortune. Skies tell no rule. Mortal. Egocentric bipedal. Disguised by norms. Command the mass. Follow the chosen ill. Inescapable. Dogma is a moral dilemma. The war within. Pressure from the unseen. Glorify them. Honor the dead. Produce the faith. Determine your fate.

TRILOGI LOYO SI BROTO

#1 Broto adalah seorang penggali kubur. Broto menyukai pekerjaannya, sebagaimana dia menyukai hidupnya. Mengubur orang mati, mendengar isak tangis, mengikuti lantunan doa, ketiganya sudah menjadi bagian hidup seorang Broto. Jika ditanya apakah dia takut mati, Broto selalu mantap menjawab "tidak". Karena menurutnya, kematian adalah kedamaian paling sempurna. Terlepas dari bagian dari semesta mana yang dituju, surga atau malah neraka. Ah ya, Broto mungkin tidak terlalu agamis, pun dalam hal ritual peribadatan tidak begitu bagus.Tapi dia memeluk sebuah agama, meyakini adanya Tuhan. Broto baik, setidaknya sebagai umat yang masih beriman. Suatu malam, Broto bermimpi. Seseorang yang dia kubur pada siang hari, memintanya untuk datang menggali kuburnya. Karena pikiran Broto langsung tertuju pada isyarat mati suri, dia bergegas mengambil cangkul. Sesampainya di sana, dia melihat kuburan yang hendak dia gali malah telah menjadi lubang menganga. Anehnya lagi, setelah cahaya senter di ar

PERJALANAN

Ketidakbahagiaan (yang sangat personal) sempat membuat saya menjadi sangat kritis politis juga agamis. Tentu semuanya diperani bukan berbasis nilai pikir dan rasa, hanya nilai rasa saja. Itupun setelah ditelaah ternyata hanya pelampiasan dari ketidakmampuan saya untuk menjadi bahagia, dari rasa kesal yang menumpuk. Itu terjadi dulu, di masa saya salah memaknai pemahaman dunia sebagai kompetisi meraih kompetensi. Kala itu, saya terlalu fokus berkompetisi, berambisi untuk kompeten, yang pada akhirnya obsesif terhadap label "kompeten"-nya. Saya stress dan pada akhirnya kesulitan yang ada menjadi pemicu ketidakbahagiaan. Singkat cerita, jadilah saya orang super kritis sekaligus anti kritik. Punya standar kebenaran sendiri yang merasa orang-orang di sekitar wajib mengamini.  "Saya si maha tau, kalian sedang tersesat".  Begitu kira-kira penggambaran hiperbola isi kepala saya. Tahun-tahun berlalu, saya akhirnya bisa lepas dan 'sembuh'. Belakangan saya sadar, ternya

THE BEST FATHER

In a parallel universe, somewhere in the near future. My son, a crybaby boy asks me: "What's your dream when you were ten years old, dad?" Since that's a good question from a promising good boy, I tell him a bright-shining light: an answer he really needs the most. What's it? Typical lies.

ANAK ANDA PASTI BISA

Untuk membuat seorang anak menurut, para orang tua memberikan rasa takut. Lewat berbagai macam hal yang konon mesti diketahui dan jalankan, pemandu kita adalah ketakutan. Takut, takut, takut. Kiranya sampai bahasan menyentuh soal maut sekalipun, bisikan yang lumrah terdengar selalu dalam kemasan rasa takut.  Karena ketakutan adalah cara, budaya yang penerapannya demi adidaya. Kuasa untuk menyamakan rasa, tiada yang layak amini selain ketakutan itu sendiri. Apa itu pemahaman dan kasih sayang? Hanya lagu sumbang, metode usang tak layak juang.  Kedua hal itu tak akan sanggup membuat kita berbaris menantang, menjadi reformis yang matang. Memperjuangkan urgensi yang diyakini mesti.  Maka, anjuran terbaik selalu tentang menjadi takut. Menghirup dalam paranoia. Tak apa cemas, dibuat lemas, asal hidup bisa dijalani dengan waras.  Begitu. Selalu.  Demi belenggu yang dipercayakan mampu memandu.

LIRIK UNTUK RAPPER KELAS DUA

Herman adalah musisi. Setidaknya itu menurutnya. Mendengarkan musik. Bermain musik. Membaca artikel musik. Dia hidup dengan musik. Sempat ada fatwa haram. Namun Herman tiada geram. Baginya musik adalah cinta. Manifestasi jiwa dalam nada. Suatu cara. Upaya. Bagaimana berkomunikasi. Mencari bermacam sinergi. Mengumpulkan orang. Dengan ketertarikan yang sama. Herman tumbuh dengan folk. Sesekali mencoba rock. Baginya genre hanya ilusi. Tiada musik buruk. Tiada guilty pleasure. Kita selalu suka keberagaman. Gengsilah yang membatasinya. Herman beranjak dewasa. Dia pergi menuju kota. Selera utama menjadi rock. Seiring melihat dunia bobrok. Amarah dan benci. Distorsi dirasa paling mengerti. Tabuh keras double pedal. Melodi tenenew emosional. Herman mantap. Ingin menjadi rockstar. Tiba di kota dia terkejut. "Senja", "kopi" dan "rindu". Eksploitasi bacot apa ini. Folk di mana-mana. Di satu sisi dia senang. Di sisi lainnya dia berang. Apa yang semula bernilai. Kini t

PESAN

Saya pernah bermimpi, dengan entah kenapa tiba-tiba berada pada sebuah ruangan. Dalam temaram, di kiri-kanan samar terlihat lilin berjejer dengan cahaya berwarna merah. Pada dinding, tergambar pola yang sekilas mengilustrasikan kegiatan berulang. Seperti pemujaan, ada sembah-sujud, altar dan matahari maupun bulan. Saya melihat ke sekeliling, kira-kira ruangan ini 10x10 meter. Di bagian tengah lantai dan langit-langitnya ada gambar yang mengilustrasikan bermacam hal terkait astronomi pada bidang lingkaran. Saya penasaran, kemudian memosisikan diri tepat di tengah ruangan. Seketika, dalam kedipan mata saya sampai di ruangan lain. Kali ini, hanya ruangan putih polos. Di sana saya berdiam cukup lama, melakukan bermacam hal yang sekiranya bisa merubah keadaan atau tempat di mana saya berada kini. Sayangnya, nihil. Tapi, sebelum pada akhirnya saya mencoba bangun, tiba-tiba ada semacam sigil tergambar tepat di bawah kaki. Karena tidak bisa bergerak, saya membiarkan sigil yang ternyata terasa

DARING

Dunia maya. Paranoia. Pencerahan. Mesin pencarian. Produksi kebenaran. Dinamika kesimpulan. Timbunan artikel. Caption mandiri. Standar pribadi. Sebar tentakel. Tak tahu diri. Kepak koneksi. Kuota terisi. Justifikasi. Kilatan murka. Mispersepsi. Perlu duka? Klik di sini. 3, 2, 1. Kamu. Muak. Kita. Taik. Mati. Utopia sendiri. Usaha bersama. Paksa fiksi. Siksa saksi. Fakta-fakta. Jadi drama. Hiperbola. Bianglala. Memutar martir. Menukar getir. Kebahagiaan pikir. Sebatas tafsir. Ketik: perjuangan. Sunting: perbujangan. Karena tiada yang kawin. Geliat-geliat kita. Di dunia maya.

LABIRIN

Pada suatu siang, Dodi terlihat kebingungan. Di tengah jalan ketika menyeberang, dia berhenti. Sayup terdengar ada 2-3 orang memaki, Dodi belum juga melangkahkan kaki. Lalu seketika bising tercipta, kendaraan di mana-mana. Terpola, asimetris terlihat di udara. Kiri-kanan berantakan, dan dipastikan bisa disebut kekacauan. Gema caci, seretan mengakhiri. Umpatan berhamburan, Dodi masih saja kebingungan. Bersama pendar mata kemerahan, kerumunan mengadili dalam kemarahan. Belasan menit berlalu, orang-orang menepi memburu. Salah satunya Anto, yang ternyata teman Dodi. Singkat cerita, dia menyelamatkan. Berniat membawa pulang Dodi. Sayang.  Rumahnya tidak akan pernah bisa dituju. Dodi mencekik Anto, mereka kecelakaan di tengah perjalanan. Dari smartphone yang terlepas dari saku celana Anto samar terdengar "adakah ini akan berakhir, ataukah ini adalah akhirnya?". Pure Saturday. Menurut saksi, Dodi mati tersenyum. Itu diketahui setelah kepalanya yang terpisah ditemukan, terpental ke s

SEKALI LAGI

Bobi terbangun, setelah sekiranya ada dua gelegar membuat jendela kamarnya bergetar. Petir yang dibawa hujan pada malam hari adalah yang membuatnya terjaga kini. Bisa saja memang dia kembali tidur lantas mendengkur, namun kenyataan kadung membuatnya terbentur. Menyadari dengan tiba-tiba bahwa diri tak kunjung berguna, mengamini dengan seketika bahwa mimpinya akan sebatas menjadi mimpi. Sebelum semuanya semakin memburuk, tiba-tiba Bobi tersentak. Dua bulatan kecil kapas terlontar dan banyak orang berteriak "Allahu Akbar". Bobi kemudian tersenyum. Berusaha bangkit dan berjalan menuju dapur. Meraih pisau dan menghujamkannya. Berkali-kali menuju perut. Bobi pada akhirnya terjatuh, lemas terkulai. Gelap. Gelap. Gelap. Singkat cerita Bobi terbangun di padang yang luas. Sejauh mata memandang tidak ada siapa-siapa, kecuali seorang anak kecil yang sedang tertawa. Bobi bertanya kenapa, dia malah berlari dan mengacungkan jari tengah dengan kedua tangannya. Bobi bingung. Bobi menangis. S

SKALA

Setiap orang kiranya mempunyai skala prioritas. Dan apa yang disebut kepedulian bisa dibilang akan selalu egosentris. Karena terlepas dari penerapan yang adakalanya altruis, tetap saja, layak-tidaknya dipedulikan berpatok pada pribadi. Intinya adalah tentang standarmu. Dengan adanya standar, setiap orang bisa tahu mana yang perlu dipedulikan dan mana yang sah-sah saja untuk diabaikan. Tapi, dengan adanya dinamika antara situasi dan kondisi, harusnya standar apapun bisa fleksibel. Dinamis. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak menerima dinamika tersebut karena takut menyentuh batas terlalu-peduli. Sesuatu yang jika dirasa dan pikir, berpeluang mubazir. Katanya. Padahal, kalau memang semestinya peduli, pedulilah. Kita tidak akan pernah tahu, pada skala dan lingkup tertentu perubahan baik apa yang akan terpicu.

KETUHANAN-KETAHANAN

Tiap malam. Di terjal bukit. Di jurang dalam. Doa terbit. Kerap dini. Sebab perlu. Sebab mesti. Mengadu. "Tolong kami. Ketuhanan. Beri kami. Ketahanan." Diulang. Diulang. Tiap malam.

MANDILAH BONI

Di balik sarung, di pojok kamar. Boni merenung, menatap nanar. Perut buncit, kesat berdecit. Picu tanya, apa sebabnya. Pada internet, dia mencari. Artikel mana, layak percaya. Namun tak lama, dia tertegun. Itu harum, apakah sabun? Dia tertawa.

KIBAR-SEBAR

Dulu, saya biasa saja memandang keuniversalan dalam karya atau produk seni. Maksudnya, saya tidak terganggu apabila ada sesuatu yang sebenarnya bernilai khusus dan idealnya menjadi konsumsi golongan tertentu, menjadi hal yang bersifat masal bin masif. Normal bin umum. Dulu saya juga berpikir, pengkotak-kotakan hanyalah arogansi. keuniversalan adalah kebijaksanaan. Keadilan.  Namun, arogansi yang semula saya "cih"-kan pada akhirnya bisa saya terima, bisa saya pahami sebagai ketidaknyamanan pada degradasi nilai. Ketidaketisan bisa dibilang. Karena bagaimanapun juga, bak bule yang kerap meneriakan "such a disrespect!", memang, terlepas dari manfaatnya untuk produsen, budaya menghidupkan euforia dalam membuat semua hal jadi relevan di ranah populer itu dilema yang digdaya. Perlu, tapi mesti merelakan buah pikiran jadi buih kapiran.

APA COBA~

Film yang baik, menambah wawasan. Film yang benar, memberi pemahaman. Film yang bagus, memenuhi selera. Dan. Film menjadi buruk tergantung wawasanmu. Film menjadi salah tergantung pemahamanmu. Film menjadi jelek tergantung seleramu. Begitu juga dengan karya dan/atau produk seni lainnya.

MELEDAKLAH MENCRET!

Tahun 2018 menjadi tahun penyempurna hilangnya gairah pada bermacam hal yang semula saya suka. 2018 juga berhasil menjadi penutup ketekunan saya merawat dua-tiga pot dilema. Sebelumnya sering telat merasa benar, berhubung banyak orang yang menawarkan kebenarannya lebih dulu. Beruntung masih ada sisa bebal. Karena kalau tidak, 2019 akan menjadi 2018 lainnya. Berpegang teguh pada banyaknya tangan di udara, yang tiada lain memaksa menyamakan suara. Kini, biar apa yang terlihat menyedihkan menjadi memento. Apa itu megalopolis, justifikasi egosentris, biarkan meluncur lewat dubur. Klaim fantasi tak sadar diri serahkan saja pada tinja. Cukup lihat bagaimana berak bekerja. Erangan ini, kepadatan itu. Yang terpenting kelegaan telah menjadi harga yang mampu terbayar. Dan ternyata, yang paling tahu tentang diri sendiri, adalah pria pada layar smartphone dengan mode selfie. Bukan Siapapun.

ENDAPAN 1998

1998 saya masuk sekolah. Menjadi anak paling berani meski sebenarnya sangat pemalu. Di satu sisi, sangat kreatif. Di sisi lain, teramat goblok. Beruntung memiliki kepekaan. Setahun setelahnya mendominasi ranking. Bayaran yang mesti didapat: menciptakan batas pertemanan. Kepekaan dan dasar spiritualitas membawa pada satu doa, pertukaran. "Buat saya kembali bodoh, Tuhan." "Buat saya mempunyai banyak teman." Dan terwujud. Bukan kompetisi atau kompetensi. Yang saya perlukan ternyata cuma merasa hidup, berikut dengan pemahaman yang cukup. Entah soal pengetahuan atau wawasan, tidak perlu berlebihan. Karena setelah dirasa, ada potensi yang bisa terpicu. Bermain peran, menjadi maha benar. Saya akui, kegoblokan kentara jauh lebih bisa memberi bahagia. Tentu, kontekstual. Setelah berbagai masa dan belasan tahun berlalu, bermodal kepekaan dan kemampuan membaca perilaku sekitar, saya sadar. Semula saya kira pilihan menjadi goblok itu salah, tapi nyatanya sangat tepat. Setidakny