ENDAPAN 1998

1998 saya masuk sekolah.
Menjadi anak paling berani meski sebenarnya sangat pemalu.
Di satu sisi, sangat kreatif.
Di sisi lain, teramat goblok.
Beruntung memiliki kepekaan.
Setahun setelahnya mendominasi ranking.
Bayaran yang mesti didapat: menciptakan batas pertemanan.
Kepekaan dan dasar spiritualitas membawa pada satu doa, pertukaran.
"Buat saya kembali bodoh, Tuhan."
"Buat saya mempunyai banyak teman."
Dan terwujud.

Bukan kompetisi atau kompetensi.
Yang saya perlukan ternyata cuma merasa hidup, berikut dengan pemahaman yang cukup.
Entah soal pengetahuan atau wawasan, tidak perlu berlebihan.
Karena setelah dirasa, ada potensi yang bisa terpicu.
Bermain peran, menjadi maha benar.
Saya akui, kegoblokan kentara jauh lebih bisa memberi bahagia.
Tentu, kontekstual.

Setelah berbagai masa dan belasan tahun berlalu, bermodal kepekaan dan kemampuan membaca perilaku sekitar, saya sadar. Semula saya kira pilihan menjadi goblok itu salah, tapi nyatanya sangat tepat. Setidaknya untuk saya. Karena apa yang saya lihat, kebanyakan orang sama sekali tidak berniat menjadi pintar demi kebenaran. Mereka justru ingin mendapat klaim benar demi mempertegas kepintarannya. Hanya seputar egosentris, narsisme dan tentunya balada klasik megalomaniak.

Oh, duhai para pemikir di mana utopia kalian kira potensial diukir, semoga kebijaksanaan menjadi sesuatu yang niscaya. Bisa dimiliki dan dipercaya.

Comments

Popular posts from this blog

LANTAR SAMAR

AKU SEORANG PILOT

KEMENANGKALAHAN