Kita berlomba. Kebanyakan di antaranya mengejar juara, melayakan nama pada suatu skala. Sisanya hanya demi menghibur waktu, yang kerap tak berisi-tak berlagu.
Pada malam berbintang muram, terdengar lagu sebarkan pilu. Tampak cahaya dari jendela, berpendar nestapa seorang nona. Dalam prasangka dan mengendurnya puja, sematkan benci pada diksi. Kalimat-kalimat api dini hari. Peluh temani deru, menyeluruh dan memburu. Waktu kian kelu, meratap memperlayu. Adapun mampu, bertahap tergantikan jemu. Selain menunggu, berakhir bisukan nafsu. Puing-puing, harapan melebur-menguning. Sewarna dengan buku yang kiranya menua. Tua bersama sepi terpatri mimpi. Catatan tentang janji-imaji.
Saya bukan tipe orang kompetitif. Begitu yang saya rasa dalam sepuluh tahun terakhir. Setelah dipikir sesekali ke berkala, saya kemudian sadar. Saya cuma orang yang kapok kalah, akhirnya mengkerut. Bermacam pengalaman terkait inkompetensi penyebabnya. Kalau ditarik ke masa yang lebih lampau, saya akui. Saya orangnya kompetitif sekali. Saya selalu menang, saya terobsesi dengan itu. Gairah yang mana menjadi salah satu elemen fundamental pembentuk siapa saya ya kemenangan. Kalau tidak tercapai, saya kesal. Penekanan sugestinya kemudian seputar balas dendam. Tentu, masih dalam skala etis. Namanya bara hidup, kapan ia meredup cepat atau lambat bisa datang. Intensitas kalah luar biasalah yang pada akhirnya membuat saya tunduk. Kepasrahan, yang mana saya pilih, bukan semata-mata mengiyakan skenario Gusti Allah. Toh bagaimanapun juga lebih menyehatkan. Tidak ada ambisi, tidak ada obsesi. Stabil. Saya sudah mengumpulkan cukup cerita. Bagaimana pergulatan dengan kehidupan merubah atau bahkan men
"Tuhan akan mengabulkan permintaan umat-Nya sekalipun seorang pencuri". Saya lupa, kutipan ini tepatnya perkataan siapa. Yang jelas, saya menemukannya dari buku Aku Seorang Pilot karangan Krishna Mihardja. Buku yang saya baca di kelas 5 SD dulu. Jelas, kala itu meski merasa tergugah dengan padanan kata-katanya, saya belum bisa memahami kalimatnya secara keseluruhan. Agak kontradiktif rasanya dengan keberadaan kata "mengabulkan" dan "pencuri". Belasan tahun kemudian, ketika sudah lumayan banyak membaca dan mengalami berbagai macam hal 'menarik', sedikit-banyak saya mulai mengerti. Paham baik dari segi 'cara kerja' Tuhan yang mengadili umat-Nya dengan tidak terpatok hitam putih, maupun bagaimana orang-orang mengaplikasikan imannya dengan cara yang variatif. Hidup senantiasa dituntut mengarah pada kebenaran, semestinya dijalani dengan dasar kebajikan. Aturan Tuhan dibawa bersama, beriringan. Menjadi elemen yang ada pada keimanan. Lalu, bagaima
Comments
Post a Comment