Posts

AMINI AMAN

Karena sejarah hanya milik para pemenang, sementara kemenangan tidak selalu menjadi milik mereka yang benar, bagaimana jika kita selama ini telah dibesarkan dengan kebanggaan semu berbasis loyalitas salah tuju? Akankah umpat-kutuk menjadi maaf yang diucapkan sambil terbatuk atau tetap menjaga harga diri demi gengsi tetap lestari?

KITA

Kita adalah bunga, adalah benci yang senantiasa bisa mekar setiap hari. Kita adalah batu, adalah kebenaran yang senantiasa dijaga bersama kerasnya kepala. Kita adalah mimpi, adalah kenyataan akan angan-angan yang selalu harus bisa terwujud tanpa kegagalan. Kita adalah mereka yang gemar menghitung sendiri, berapa jumlah kenapa terkait ini dan itu.

PELARI TENGAH HARI

Kita berlomba.  Kebanyakan di antaranya mengejar juara, melayakan nama pada suatu skala. Sisanya hanya demi menghibur waktu, yang kerap tak berisi-tak berlagu.

TUNTUT RUNTUT

Membenci sesuatu atau seseorang itu wajar, karena dengan begitu, cinta dan kasih bisa memiliki nilai. Kamu tidak bisa selamanya mendamba kedamaian (yang jelas-jelas utopis). Sejatinya, kedamaian adalah metafora ketidakseimbangan. Harmoni tidak bisa diwakilkan dengan kedamaian. Karena harmoni adalah keseimbangan antara positif dan negatif. Kita perlu hidup harmonis, bukan hidup damai.

LANTAR SAMAR

Pada malam berbintang muram, terdengar lagu sebarkan pilu. Tampak cahaya dari jendela, berpendar nestapa seorang nona. Dalam prasangka dan mengendurnya puja, sematkan benci pada diksi. Kalimat-kalimat api dini hari. Peluh temani deru, menyeluruh dan memburu. Waktu kian kelu, meratap memperlayu. Adapun mampu, bertahap tergantikan jemu. Selain menunggu, berakhir bisukan nafsu. Puing-puing, harapan melebur-menguning. Sewarna dengan buku yang kiranya menua. Tua bersama sepi terpatri mimpi. Catatan tentang janji-imaji.

PERHATIAN: TIDAK ADA JALAN KELUAR

Dalam biru yang merangkak kelabu, bersama udara yang diberi warna oleh suara. Kita berlari selamatkan diri, sementara letupan bertahap sematkan ledakan. Gema yang dikonstruksi geram dalam kelam, perlahan merendah dalam lebam. Darah bercampur kutuk, utopia menjadi jeda dari setiap batuk. Dalam buih yang menghiasi senja, dalam perih mengenai luka-luka. Pasang mengantarkan ombak, bersama dupa wangi semerbak. Kita menghilang dalam malam, kembali pada pagi. Mengulang siklus yang sama, perani teror dalam medan horor. Acap kali debu mengantarkan kata. Dalam setiap deru yang perlahan akan melayu, kita akan selalu terengah dan kalah. Karena Bumi telah menjadi arena beradu daya dan kuasa. Perang-perang ini tidak akan pernah kita menangkan.

KENYANG

Kita selalu merasa kurang, sementara keserba-lebihan sedang dan akan selalu kita miliki. Pada akhirnya, kelebihan kita hanya menuntut, padahal sempat merasa lebih sementara sejatinya akan selalu dalam keadaan berlebih.